Ikan Mas Sakti dan 3 Saudara
Pada suatu hari, hiduplah tiga anak yang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung. Mereka adalah Asep, Yanto, dan Jamal. Asep, yang berusia 12 tahun, adalah kakak tertua, sementara Yanto berusia 10 tahun, dan Jamal yang paling muda, berusia 8 tahun. Ketiganya sangat akrab dan selalu bermain bersama. Mereka suka berpetualang, mencoba hal-hal baru, dan sering mencari tantangan di alam sekitar.
Suatu pagi yang cerah, mereka berencana untuk pergi memancing di sungai. Mereka telah menyiapkan alat pancing seadanya dan tidak sabar untuk berangkat. Sebelum mereka keluar rumah, ibu mereka memanggil dengan suara lembut, "Nak, kalian sudah siap? Ingat, ibu hanya mengingatkan, ada mitos yang beredar di desa ini. Konon, ada sebuah kolam di sungai yang berisi ikan sakti. Jika seseorang memakannya, akan ada celaka yang menimpa. Ibu hanya ingin kalian hati-hati."
Asep yang sudah sering mendengar cerita itu mengangguk yakin. "Iya, Bu. Kami akan hati-hati. Tenang saja," jawab Asep sambil tersenyum. Yanto dan Jamal, yang belum pernah mendengar mitos itu, hanya terdiam dan saling pandang. Mereka tidak begitu mengerti apa yang dimaksud ibu.
Mereka pun berangkat menuju sungai. Setibanya di sana, Asep, Yanto, dan Jamal mulai merakit alat pancing mereka. Dengan penuh semangat, mereka memasangkan umpan cacing pada kail dan melemparkannya ke dalam air. Beberapa menit berlalu, namun mereka belum mendapatkan ikan satu pun. Begitu terus hingga umpan hampir habis. Tiba-tiba, di dasar kolam, Asep melihat sebuah kilauan yang sangat mencolok.
Dengan sigap, Asep menarik tali pancingnya, dan ikan yang terjerat di ujungnya mulai muncul ke permukaan. Ikan itu bersisik emas dan tampak sangat langka. Seketika Asep teringat akan mitos yang diceritakan ibunya. Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Tanpa memberitahukan Yanto dan Jamal, Asep diam-diam memasukkan ikan itu ke dalam ember, menyembunyikannya dari mereka.
Beberapa jam berlalu, dan mereka mulai mendapatkan beberapa ikan lain. "Adik-adik, ayo pulang!" ajak Asep dengan gembira. "Iyaaa!" jawab Yanto dan Jamal bersamaan. Mereka pun berjalan pulang, merasa puas dengan hasil pancingan mereka.
Sesampainya di rumah, ibu mereka menunggu di halaman. "Kalian dari mana saja? Kenapa lama sekali?" tanya ibu dengan cemas, karena mereka sudah pergi sejak pagi.
Asep yang sudah menyembunyikan ikan emas itu menjawab, "Kami pergi memancing, Bu. Kami dapat ikan lele," jawabnya dengan cepat. Ibu pun tersenyum lega. "Oh, begitu. Baiklah, ibu akan masak ikan yang kalian bawa. Sambil menunggu, kalian mandi dulu, ya?"
Asep, Yanto, dan Jamal pun langsung mandi, dan setelah itu, mereka duduk di meja makan, menikmati masakan lezat ibu. Mereka makan dengan lahap, hingga perut mereka kenyang. "Ibu, masakan ibu enak sekali! Terima kasih!" puji Asep.
"Ibu senang kalian suka. Nanti kalau kalian dapat ikan lagi, ibu akan masakkan yang lebih enak," kata ibu sambil tersenyum.
Keesokan harinya, ketiganya kembali bersiap untuk memancing. Kali ini, mereka lebih bersemangat. Setelah beberapa jam memancing tanpa hasil, Asep merasa ada sesuatu yang berbeda saat pancingannya mulai bergerak. Dengan sigap, Asep menarik pancingnya dan mendapati ikan emas yang sama yang dia tangkap kemarin. Ia ingat mitos ibunya dan ragu-ragu untuk melepaskannya. Namun, sebelum ia sempat melepaskannya, tiba-tiba ikan itu berbicara.
"Hai, anak muda," kata ikan tersebut dengan suara lembut.
Asep terkejut. "K-Kamu bisa bicara?" tanya Asep dengan terbata-bata.
"Iya, aku adalah ikan langka di sini. Banyak orang takut padaku, tapi kau tidak takut. Kenapa?" jawab ikan itu dengan suara lembut.
Asep masih terkejut, namun akhirnya berkata, "Aku... Aku hanya ingin melepaskanmu kembali, tapi aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi."
"Iya, aku tahu mitos tentang aku. Namun, aku butuh bantuanmu. Aku ingin kembali ke tempat asalku, tempat yang aman bersama saudara-saudaraku," kata ikan itu.
Asep berpikir sejenak. "Baiklah, aku akan membantumu," kata Asep akhirnya. "Tapi, kalian harus ikut denganku."
Yanto dan Jamal, yang sudah datang mendekat, terkejut mendengar percakapan itu. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Yanto. "Kak Asep, ada apa dengan ikan ini?"
"Ikan ini bisa bicara. Dia ingin kembali ke tempat asalnya, dan aku akan membantunya," jawab Asep.
"Mau ikut membantu?" tanya ikan itu kepada Yanto dan Jamal. "Kami tidak tahu tempat itu, tapi kami akan membantu," jawab Yanto dan Jamal dengan bersemangat.
Mereka pun berjalan bersama melewati hutan yang gelap. Ikan emas itu memberikan cahaya dari tubuhnya, memandu mereka agar tidak tersesat. Setelah berjalan jauh, mereka sampai di sebuah tempat yang sangat suci, tempat asal ikan tersebut. "Terima kasih, anak-anak. Kalian telah membantuku kembali ke saudara-saudaraku. Sebagai ucapan terima kasih, semoga kalian mendapatkan keberuntungan di masa depan," kata ikan itu sebelum berenang ke dalam air yang jernih.
Mereka bertiga pulang dengan perasaan senang. Setibanya di rumah, ibu mereka bertanya, "Kalian sudah dapat ikan yang kalian inginkan, nak?"
Asep menjawab, "Kami tidak mendapat ikan, Bu. Tapi kami membantu ikan yang bisa bicara untuk kembali ke tempat asalnya."
"Ikan yang bisa bicara?" tanya ibu dengan terkejut. "Iya, Bu. Ikan itu memberi kami cahaya dan mengarahkan kami ke tempat yang sangat jauh," jawab Asep.
Ibu mereka tersenyum bangga. "Nak, kamu sudah melakukan hal yang baik. Ibu sangat bangga dengan hati murnimu."
"Ayo, kita bisa memancing lagi?" tanya Yanto. "Boleh, asal kalian belajar dari pengalaman ini. Jangan hanya mencari ikan, tapi juga membantu sesama," jawab ibu.
Keesokan harinya, mereka kembali ke sungai, kali ini untuk memancing ikan yang mereka inginkan. Mereka merasa lebih bijaksana dan tahu bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat ganjaran yang baik pula.
Beberapa tahun kemudian, Asep, Yanto, dan Jamal tumbuh menjadi remaja yang bijak dan penuh tanggung jawab. Mereka tidak hanya belajar dari petualangan mereka di sungai, tetapi juga dari ibu mereka yang telah mengajarkan mereka tentang kejujuran dan kebaikan hati.
Pada suatu hari, Asep menemui ayah mereka yang sedang bekerja di kebun. "Ayah, aku sudah siap untuk mengatakan semua yang telah aku simpan," kata Asep.
Ayahnya menatapnya dengan bangga. "Baiklah, nak. Aku akan mendengarkan ceritamu."
Asep menceritakan segala hal yang terjadi, bagaimana mereka membantu ikan sakti, dan bagaimana mereka tidak pernah mengambil barang-barang dari kuil yang mereka temui di gunung. Ayah mereka tersenyum. "Kau benar, nak. Kejujuran dan hati yang bersih akan membawamu pada kebahagiaan."
Asep dan saudara-saudaranya terus belajar dan tumbuh menjadi orang yang bijaksana. Mereka berhasil lulus sekolah, kuliah, dan akhirnya kembali ke desa mereka. Mereka tidak pernah melupakan keluarga yang telah mengajari mereka banyak hal.
Dan ketika mereka berhasil membeli mobil pertama mereka, Asep berkata, "Kami berhasil karena ibu dan ayah. Kami akan selalu mengingat semuanya."
Tamat.