Rabu, 18 Desember 2024

Cerita Pendek Karya Safendra Denovan

 Ikan Mas Sakti dan 3 Saudara


Pada suatu hari, hiduplah tiga anak yang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung. Mereka adalah Asep, Yanto, dan Jamal. Asep, yang berusia 12 tahun, adalah kakak tertua, sementara Yanto berusia 10 tahun, dan Jamal yang paling muda, berusia 8 tahun. Ketiganya sangat akrab dan selalu bermain bersama. Mereka suka berpetualang, mencoba hal-hal baru, dan sering mencari tantangan di alam sekitar.



Suatu pagi yang cerah, mereka berencana untuk pergi memancing di sungai. Mereka telah menyiapkan alat pancing seadanya dan tidak sabar untuk berangkat. Sebelum mereka keluar rumah, ibu mereka memanggil dengan suara lembut, "Nak, kalian sudah siap? Ingat, ibu hanya mengingatkan, ada mitos yang beredar di desa ini. Konon, ada sebuah kolam di sungai yang berisi ikan sakti. Jika seseorang memakannya, akan ada celaka yang menimpa. Ibu hanya ingin kalian hati-hati."

Asep yang sudah sering mendengar cerita itu mengangguk yakin. "Iya, Bu. Kami akan hati-hati. Tenang saja," jawab Asep sambil tersenyum. Yanto dan Jamal, yang belum pernah mendengar mitos itu, hanya terdiam dan saling pandang. Mereka tidak begitu mengerti apa yang dimaksud ibu.

Mereka pun berangkat menuju sungai. Setibanya di sana, Asep, Yanto, dan Jamal mulai merakit alat pancing mereka. Dengan penuh semangat, mereka memasangkan umpan cacing pada kail dan melemparkannya ke dalam air. Beberapa menit berlalu, namun mereka belum mendapatkan ikan satu pun. Begitu terus hingga umpan hampir habis. Tiba-tiba, di dasar kolam, Asep melihat sebuah kilauan yang sangat mencolok.

Dengan sigap, Asep menarik tali pancingnya, dan ikan yang terjerat di ujungnya mulai muncul ke permukaan. Ikan itu bersisik emas dan tampak sangat langka. Seketika Asep teringat akan mitos yang diceritakan ibunya. Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Tanpa memberitahukan Yanto dan Jamal, Asep diam-diam memasukkan ikan itu ke dalam ember, menyembunyikannya dari mereka.

Beberapa jam berlalu, dan mereka mulai mendapatkan beberapa ikan lain. "Adik-adik, ayo pulang!" ajak Asep dengan gembira. "Iyaaa!" jawab Yanto dan Jamal bersamaan. Mereka pun berjalan pulang, merasa puas dengan hasil pancingan mereka.

Sesampainya di rumah, ibu mereka menunggu di halaman. "Kalian dari mana saja? Kenapa lama sekali?" tanya ibu dengan cemas, karena mereka sudah pergi sejak pagi.

Asep yang sudah menyembunyikan ikan emas itu menjawab, "Kami pergi memancing, Bu. Kami dapat ikan lele," jawabnya dengan cepat. Ibu pun tersenyum lega. "Oh, begitu. Baiklah, ibu akan masak ikan yang kalian bawa. Sambil menunggu, kalian mandi dulu, ya?"

Asep, Yanto, dan Jamal pun langsung mandi, dan setelah itu, mereka duduk di meja makan, menikmati masakan lezat ibu. Mereka makan dengan lahap, hingga perut mereka kenyang. "Ibu, masakan ibu enak sekali! Terima kasih!" puji Asep.

"Ibu senang kalian suka. Nanti kalau kalian dapat ikan lagi, ibu akan masakkan yang lebih enak," kata ibu sambil tersenyum.

Keesokan harinya, ketiganya kembali bersiap untuk memancing. Kali ini, mereka lebih bersemangat. Setelah beberapa jam memancing tanpa hasil, Asep merasa ada sesuatu yang berbeda saat pancingannya mulai bergerak. Dengan sigap, Asep menarik pancingnya dan mendapati ikan emas yang sama yang dia tangkap kemarin. Ia ingat mitos ibunya dan ragu-ragu untuk melepaskannya. Namun, sebelum ia sempat melepaskannya, tiba-tiba ikan itu berbicara.

"Hai, anak muda," kata ikan tersebut dengan suara lembut.

Asep terkejut. "K-Kamu bisa bicara?" tanya Asep dengan terbata-bata.

"Iya, aku adalah ikan langka di sini. Banyak orang takut padaku, tapi kau tidak takut. Kenapa?" jawab ikan itu dengan suara lembut.



Asep masih terkejut, namun akhirnya berkata, "Aku... Aku hanya ingin melepaskanmu kembali, tapi aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi."

"Iya, aku tahu mitos tentang aku. Namun, aku butuh bantuanmu. Aku ingin kembali ke tempat asalku, tempat yang aman bersama saudara-saudaraku," kata ikan itu.

Asep berpikir sejenak. "Baiklah, aku akan membantumu," kata Asep akhirnya. "Tapi, kalian harus ikut denganku."

Yanto dan Jamal, yang sudah datang mendekat, terkejut mendengar percakapan itu. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Yanto. "Kak Asep, ada apa dengan ikan ini?"

"Ikan ini bisa bicara. Dia ingin kembali ke tempat asalnya, dan aku akan membantunya," jawab Asep.

"Mau ikut membantu?" tanya ikan itu kepada Yanto dan Jamal. "Kami tidak tahu tempat itu, tapi kami akan membantu," jawab Yanto dan Jamal dengan bersemangat.

Mereka pun berjalan bersama melewati hutan yang gelap. Ikan emas itu memberikan cahaya dari tubuhnya, memandu mereka agar tidak tersesat. Setelah berjalan jauh, mereka sampai di sebuah tempat yang sangat suci, tempat asal ikan tersebut. "Terima kasih, anak-anak. Kalian telah membantuku kembali ke saudara-saudaraku. Sebagai ucapan terima kasih, semoga kalian mendapatkan keberuntungan di masa depan," kata ikan itu sebelum berenang ke dalam air yang jernih.

Mereka bertiga pulang dengan perasaan senang. Setibanya di rumah, ibu mereka bertanya, "Kalian sudah dapat ikan yang kalian inginkan, nak?"

Asep menjawab, "Kami tidak mendapat ikan, Bu. Tapi kami membantu ikan yang bisa bicara untuk kembali ke tempat asalnya."

"Ikan yang bisa bicara?" tanya ibu dengan terkejut. "Iya, Bu. Ikan itu memberi kami cahaya dan mengarahkan kami ke tempat yang sangat jauh," jawab Asep.

Ibu mereka tersenyum bangga. "Nak, kamu sudah melakukan hal yang baik. Ibu sangat bangga dengan hati murnimu."

"Ayo, kita bisa memancing lagi?" tanya Yanto. "Boleh, asal kalian belajar dari pengalaman ini. Jangan hanya mencari ikan, tapi juga membantu sesama," jawab ibu.

Keesokan harinya, mereka kembali ke sungai, kali ini untuk memancing ikan yang mereka inginkan. Mereka merasa lebih bijaksana dan tahu bahwa setiap perbuatan baik akan mendapat ganjaran yang baik pula.

Beberapa tahun kemudian, Asep, Yanto, dan Jamal tumbuh menjadi remaja yang bijak dan penuh tanggung jawab. Mereka tidak hanya belajar dari petualangan mereka di sungai, tetapi juga dari ibu mereka yang telah mengajarkan mereka tentang kejujuran dan kebaikan hati.

Pada suatu hari, Asep menemui ayah mereka yang sedang bekerja di kebun. "Ayah, aku sudah siap untuk mengatakan semua yang telah aku simpan," kata Asep.

Ayahnya menatapnya dengan bangga. "Baiklah, nak. Aku akan mendengarkan ceritamu."

Asep menceritakan segala hal yang terjadi, bagaimana mereka membantu ikan sakti, dan bagaimana mereka tidak pernah mengambil barang-barang dari kuil yang mereka temui di gunung. Ayah mereka tersenyum. "Kau benar, nak. Kejujuran dan hati yang bersih akan membawamu pada kebahagiaan."

Asep dan saudara-saudaranya terus belajar dan tumbuh menjadi orang yang bijaksana. Mereka berhasil lulus sekolah, kuliah, dan akhirnya kembali ke desa mereka. Mereka tidak pernah melupakan keluarga yang telah mengajari mereka banyak hal.

Dan ketika mereka berhasil membeli mobil pertama mereka, Asep berkata, "Kami berhasil karena ibu dan ayah. Kami akan selalu mengingat semuanya."

Tamat.


Cerita Pendek Karya Reinard Nathanael Hendrian

Cerita Saat di Danau Toba    


Suatu hari, kelas 6-7A di sekolah HighScope merencanakan liburan ke Danau Toba. Liburan ini mereka pilih untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran setelah menyelesaikan dua triwulan yang melelahkan di sekolah.

"Sebelum berangkat, kita harus persiapkan segala sesuatunya, ya," ujar Ms. Muthi, guru kelas, sambil memastikan semua sudah siap.

“Ms. Muthi, apakah kita perlu membawa tenda?” tanya Erick, salah seorang siswa.

"Iya, Erick," jawab Ms. Muthi.

“Ms. Muthi, kita perlu membawa laptop?” Erick kembali bertanya.

"Hm, sepertinya tergantung kebutuhan anak-anak saja. Kalau kalian ingin membawa, silakan. Tapi jika tidak, tidak apa-apa," jelas Ms. Muthi.

“Mr. Adi, perlu bawa bantal, bantal guling, selimut, dan boneka nggak?” Anya bertanya kepada guru pria itu.

“Bawa barang-barang seperlunya saja, Anya. Jangan terlalu banyak. Nanti kalian sendiri yang kerepotan,” jawab Mr. Adi.

“Boleh bawa alat elektronik tidak ya, Mr. Adi?” tanya Safendra dan Reinard serempak.

“TERSERAH!” jawab Ms. Muthi dan Mr. Adi kompak, sudah lelah dengan deretan pertanyaan dari murid-murid.

"Ms. Muthi, perlu bawa baju nggak?" tanya Michelle dan Sevita dengan usil.

"YA IYALAH!" jawab Ms. Muthi sambil sedikit gemas.

Kali ini, giliran Raffa dan Angel yang bertanya, “Ms. Muthi, di Danau Toba boleh mandi nggak? Kami cuma tanya saja.”

“Boleh, tapi harus bilang permisi dulu,” jawab Mr. Adi.

“APA?” seru semua siswa kaget.

“Iya, benar,” tegas Mr. Adi.

“Itu peraturan baru ya, Miss? Aku baru tahu kalau di Danau Toba boleh mandi, tapi harus izin dulu,” kata Kimmie keheranan.

“Bukan peraturan baru, tapi ini adalah salah satu mitos di Danau Toba. Konon, kita harus meminta izin untuk mandi di sana sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang menjaga Danau Toba,” jelas Ms. Muthi.

“Baik, Miss,” jawab anak-anak, meskipun masih merasa penasaran.

Namun, tanpa mereka sadari, Anya ternyata diam-diam pergi ke toilet karena perutnya yang mendadak sakit. Ia pun tertinggal dan tidak mendengar peringatan tersebut.

Akhirnya, hari yang dinanti pun tiba.

"SEMUANYA SIAP?" tanya Mr. Adi dengan semangat.

“SIAP, MR. ADI!!!” jawab anak-anak serempak.

Perjalanan dimulai dengan ceria. Di dalam bus, televisi terus menampilkan pemandangan indah Danau Toba. Namun, ada running text yang muncul di bagian atas layar: "Kalau mau mandi, harus minta izin dan permisi." Anya masih tertidur pulas di kursinya, tidak terganggu oleh keseruan teman-temannya.

“Wah, di Danau Toba memang harus bilang permisi sebelum mandi,” kata Kimmie terkejut.

Mereka pun melanjutkan perjalanan, dan setelah beberapa jam, akhirnya sampai di sebuah desa dekat Danau Toba. Mereka memesan empat unit rumah untuk tempat tinggal selama liburan.

Rumah pertama ditempati oleh Erick, Safendra, dan Reinard. Rumah kedua dihuni oleh Angel, Raffa, dan Anya. Rumah ketiga ditempati oleh Michelle, Kimmie, dan Sevita. Sedangkan rumah keempat adalah tempat tinggal para guru.

Di rumah pertama, Erick, Safendra, dan Reinard langsung terbaring lelah setelah perjalanan panjang. Mereka merasa kepanasan dan mulai berkeringat.

“Aku hidupkan AC-nya, ya,” kata Erick.

“Iya, tolong,” jawab Safendra dan Reinard serentak.

Setelah mandi, Erick langsung tidur, sementara Safendra dan Reinard bermain gawai.

Di rumah ketiga, Michelle, Kimmie, dan Sevita menikmati suasana yang sejuk.

“Wah, dingin ya,” kata Sevita.

“Enak, tapi seger,” kata Kimmie.

Mereka berenang dan bersenang-senang. Namun, ketika hujan mulai turun, mereka kembali ke rumah dan mandi.

Di rumah kedua, giliran Raffa yang pertama mandi.

"Permisi," kata Raffa dengan sopan.

Setelah itu, Angel masuk dan juga mengatakan, "Permisi."

Namun, Raffa tidak sengaja mengambil sampo milik Angel, sehingga ia kembali masuk ke kamar mandi.

"Tunggu, Angel!" kata Raffa sambil memberikan sampo itu kepada Angel.

Akhirnya, giliran Anya yang mandi. Sayangnya, Anya tidak ingat untuk mengatakan "permisi" karena ia tidak mendengar penjelasan itu di bus atau di kelas. Ia langsung masuk ke kamar mandi dan mandi tanpa izin.

Sementara itu, di rumah keempat, para guru juga ingat untuk bilang "permisi" sebelum mandi.

“Permisi,” kata Mr. Adi dan Ms. Muthi dengan hati-hati.

Malam hari tiba. Di rumah pertama, Erick, Safendra, dan Reinard sudah tidur dengan tenang.

“Selamat malam,” kata Reinard.

“Selamat malam,” jawab Safendra.

“Selamat malam,” kata Erick, lalu mematikan lampu.

Di rumah ketiga, Michelle, Kimmie, dan Sevita masih begadang hingga pukul 11 malam.

“Wah, sudah malam banget,” kata Sevita.

“Ayo tidur cepat,” kata Michelle.

“Selamat malam,” jawab semuanya.

Di rumah guru, mereka tidur lebih awal karena kelelahan.

Namun, di rumah kedua, sekitar pukul 3 pagi, Anya tiba-tiba terbangun dan merasa dirinya ditarik oleh makhluk yang sangat besar dan kuat. Makhluk itu muncul dari dalam air Danau Toba. Anya berteriak sekencang-kencangnya, dan suaranya terdengar sampai ke rumah-rumah lain.

“ANYA!!!” teriak teman-temannya panik. Semua orang langsung berlari keluar dan mengikuti suara teriakan Anya ke arah hutan.

“Ms. Muthi, bawa senter nggak?” tanya Safendra.

“Syukurlah, iya,” jawab Ms. Muthi sambil menyalakan senter.

Mereka berlari dalam kegelapan, mencoba mencari Anya. “Dimana Anya?” teriak mereka dengan ketakutan.

"ANYA, KAMU DI MANA?" seru semuanya.

“Dengar!” kata Anya dari kejauhan.

Dengan cepat mereka berlari ke arah suara, tetapi Anya semakin jauh. Mereka terus berlari, tapi sepertinya tak ada jalan keluar. Makhluk itu terbang dengan cepat, membawa Anya semakin jauh.

Akhirnya, saat Anya hampir putus asa, ia teringat pada tablet yang ia bawa. Dalam keputusasaannya, ia menggenggam tablet tersebut dan menarik kabelnya. Tiba-tiba, kabel itu menyentuh makhluk itu dan membuatnya tersetrum. Makhluk itu pun pingsan dan Anya akhirnya bisa lepas dari cengkeramannya.

Anya berlari secepat mungkin menuju ke arah teman-teman dan guru-gurunya. “Syukurlah kamu selamat, Anya!” kata Ms. Muthi dan teman-temannya, sambil memeluknya erat.

Setelah kejadian itu, mereka mengambil barang-barang mereka dan melanjutkan perjalanan ke 

Amanat:
Cerita ini mengajarkan kita untuk selalu menghormati peraturan dan menjaga sopan santun, serta tidak melupakan tradisi dan kepercayaan yang ada di sekitar kita.

Cerita Pendek Karya Safendra Denovan

  Ikan Mas Sakti dan 3 Saudara Pada suatu hari, hiduplah tiga anak yang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung. Mereka adalah Asep, Yan...